Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965) - Part 1


Sejarah pergolakan dan   konflik yang    terjadi di  Indonesia selama masa tahun 1948-1965 dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan:

1.   Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.
2.   Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan kepentingan (vested interest).T
3.   Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan.

Sekarang mari   kita   bahas    satu   persatu konflik atau   pergolakan  yang    terjadi di Indonesia pada 1948-1965, yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut.

Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi.


a)  Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun
Selain  Partai  Nasional  Indonesia  (PNI),  PKI  merupakan  partai  politik  pertama yang didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai  baru,  karena  telah  ada  sejak  zaman  pergerakan  nasional  sebelum  dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat memberontak pada tahun 1926.
Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah,  yang  kebetulan  memang  dikuasai  oleh  golongan  kiri.  Hal  ini  terkait dengan Doktrin Dimitrov,  yang menyatakan bahwa gerakan komunis harus  bekerja  sama  dengan  kapitalis    dalam  rangka  menghadapi  kekuatan  fasis. Namun ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan Februari  1948.  Pada  awal  September  1948  pimpinan  PKI  dipegang  Muso.  Ia  membawa  berita  bahwa  Doktrin  Dimitrov  telah  diganti  dengan  Doktrin  Zhdanov  dimana  komunis  harus  bekerja  sama  dengan  golongan  nasionalis-progresif untuk menghadapi golongan kapitalis borjuis. Muso lalu membawa PKI  ke  dalam  pemberontakan  bersenjata  yang  dicetuskan  di  Madiun  pada  tanggal 18 September 1948 (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012).
Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, di mana  mereka  memiliki  cita-cita  ingin  menjadikan  Indonesia  sebagai  negara  komunis.  Berbagai  upaya  dilakukan  oleh  PKI  untuk  meraih  kekuasaan.  Di  bawah pimpinan Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi  dan  pemogokan  kaum  buruh  dan  petani.  Sebagian  kekuatan-kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Soviet yang komunis. Pemerintah  Indonesia  telah  melakukan  upaya-upaya  diplomasi  dengan  Muso, bahkan sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak ofensif PKI Muso. Namun kondisi politik sudah terlampau  panas,  sehingga  pada  pertengahan  September  1948,  pertempuran  antara  kekuatan-kekuatan  bersenjata  yang  memihak  PKI  dengan  TNI  mulai  meletus.  PKI  kemudian  memusatkan  kekuatannya  di  Madiun.  Pada  tanggal  18 September 1948, Muso memproklamirkan Republik Soviet Indonesia.
Di  awal  pemberontakan,  pembunuhan  terhadap  pejabat  pemerintah  dan  para  pemimpin  partai  yang  antikomunis  terjadi.  Kaum  santri  juga  menjadi  korban.   Tetapi   pasukan   pemerintah   yang   dipelopori   Divisi   Siliwangi   kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak. Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi hukuman  mati.  Tokoh-tokoh  muda  PKI  seperti  Aidit  dan  Lukman  berhasil  melarikan  diri.  Merekalah  yang  kelak  di  tahun  1965,  berhasil  menjadikan  PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil alih kekuasaan.Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini bagi sejarah Indonesia kemudian?Pertama,  upaya  membentuk  tentara  Indonesia  yang  lebih  profesional  menguat   sejak   pemberontakan   tersebut.   Berbagai   laskar   dan   kekuatan   bersenjata  “liar”  berhasil  didemobilisasi  (dibubarkan).  Dari  sisi  perjuangan  diplomasi, simpati AS   sebagai penengah dalam    konflik dan   perundingan antara Indonesia  dengan  Belanda  perlahan  berubah  menjadi  dukungan  terhadap  Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa dilepaskan dari strategi global AS dalam menghadapi ancaman komunisme.Tetapi     hal   terpenting lain   juga   perlu    dicatat. Bahwa konflik yang    terjadi berdampak  pula  pada  banyaknya  korban  yang  timbul.  Ketidakbersatuan  bangsa  Indonesia  yang  tampak  dalam  peristiwa  ini  juga  dimanfaatkan  oleh  Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk kemudian melancarkan agresi militernya yang kedua pada Desember 1948.

b)  Pemberontakan DI/TII
Cikal  bakal  pemberontakan  DI/TII  yang  meluas  di  beberapa  wilayah  Indonesia  bermula  dari  sebuah  gerakan  di  Jawa  Barat  yang  dipimpin  oleh  S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).  Perjanjian Renville membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk mendirikan negara Islam.Salah satu keputusan Renville adalah pasukan RI dari daerah-daerah yang berada  di  dalam  garis  van  Mook  harus  pindah  ke  daerah  yang  dikuasai  RI.  Divisi  Siliwangi  dipindahkan  ke  Jawa  Tengah  karena  Jawa  Barat  dijadikan  negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan  Sabilillah  yang  telah  berada  di  bawah  pengaruh  Kartosuwiryo  tidak  bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski  awalnya  ia  memimpin  perjuangan  melawan  Belanda  dalam  rangka  menunjang  perjuangan  RI,  namun  akhirnya  perjuangan  tersebut  beralih  menjadi  perjuangan  untuk  merealisasikan  cita-citanya.  Ia  lalu  menyatakan  pembentukan  Darul  Islam  (negara  Islam/DI)  dengan  dukungan  TII,  di  Jawa  Barat pada Agustus 1948.Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo  tidak  mau  mengakui  tentara  RI  tersebut  kecuali  mereka  mau  bergabung  dengan  DI/TII.  Ini  sama  saja  Kartosuwiryo  dengan  DI/TII  nya  tidak  mau  mengakui  pemerintah  RI  di  Jawa  Barat.  Maka  pemerintah  pun  bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya terlihat belum dilakukan secara terarah, namun sejak 1959, pemerintah mulai melakukan operasi militer.Gambar   di   samping   adalah   tokoh   “kiri”   yang   memiliki   kaitan   dengan   pemberontakan PKI di Madiun.Carilah     informasi     dari     berbagai     sumber  mengenai  peran  kedua  tokoh  PKI   tersebut   dalam   Pemberontakan   PKI   Madiun   tahun   1948.   Jelaskan   pula,   tindakan   apa   yang   dilakukan   oleh  Pemerintah  untuk  memadamkan  pemberontakan tersebut, dan apa akibat yang  ditimbulkan  oleh  Pemberontakan  PKI   Madiun   yang   berkait   dengan   penderitaan rakyat!
Operasi  terpadu  “Pagar  Betis”  digelar,  di  mana  tentara  pemerintah  menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII  berada.  Tujuan  taktik  ini  adalah  untuk  mempersempit  ruang  gerak  dan  memotong  arus  perbekalan  pasukan  lawan.  Selain  itu  diadakan  pula  operasi  tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini  pula  Kartosuwiryo  berhasil  ditangkap  pada  tahun  1962.  Ia  lalu  dijatuhi  hukuman  mati,  yang  menandai  pula  berakhirnya  pemberontakan  DI/TII  Kartosuwiryo.Di  Jawa  Tengah,  awal  kasusnya  juga  mirip,  di  mana  akibat  persetujuan  Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional Indonesia)  dan  aparat  pemerintahan.  Terjadi  kevakuman  di  wilayah  ini  dan  Amir  Fatah  beserta  pasukan  Hizbullah  yang  tidak  mau  di-TNI-kan  segera  mengambil alih.Saat  pasukan  TNI  kemudian  balik  kembali  ke  wilayah  tersebut  setelah  Belanda  melakukan  agresi  militernya  yang  kedua,  sebenarnya  telah  terjadi  kesepakatan  antara  Amir  Fatah  dan  pasukannya  dengan  pasukan  TNI.  Amir  Fatah  bahkan  diangkat  sebagai  koordinator  pasukan  di  daerah  operasi  Tegal  dan  Brebes.  Namun  terjadi  ketegangan  karena  berbagai  persoalan  antara  pasukan  Amir  Fatah  dengan  TNI  sering  timbul  kembali.  Amir  Fatah  pun  semakin  berubah  pikiran  setelah  utusan  Kartosuwiryo  datang  menemuinya  lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut  memproklamirkan  berdirinya  Negara  Islam  di  Jawa  Tengah.  Sejak  itu  terjadi kekacauan dan   konflik terbuka antara     pasukan Amir    Fatah    dengan pasukan TNI.Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu  lama.  Kurangnya  dukungan  dari  penduduk  membuat  perlawanannya  cepat berakhir. Desember 1951, ia menyerah.Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia  didukung  oleh  laskar  bersenjata  Angkatan  Umat  Islam  (AUI)  yang  sejak  didirikan  memang  berkeinginan  menciptakan  suatu  negara  Indonesia  yang  berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu membahu dengan Tentara Republik  dalam  menghadapi  Belanda.  Wilayah  operasional  AUI  berada  di  daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah.Namun  kerja  sama  antara  AUI  dengan  Tentara  RI  mulai  pecah  ketika  pemerintah  hendak  melakukan  demobilisasi  AUI.  Ajakan  pemerintah  untuk  berunding  ditolak  Kyai  Sumolangu.  Pada  akhir  Juli  1950  Kyai  Sumolangu  melakukan  pemberontakan.  Sesudah  sebulan  bertempur,  tentara  RI  berhasil menumpas   pemberontakan   ini.   Ratusan   pemberontak   dinyatakan   tewas   dan  sebagian  besar  berhasil  ditawan.  Sebagian  lainnya  melarikan  diri  dan  bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat mengungsi dan  ratusan  orang  ikut  terbunuh.  Selain  itu  desa-desa  juga  mengalami  kerusakan berat.
Pemberontakan  Darul  Islam  di  Jawa  Tengah  lainnya  juga  dilakukan  oleh  Batalyon  426  dari  Divisi  Diponegoro  Jawa  Tengah.  Ini  adalah  tentara  Indonesia  yang  anggota-anggotanya  berasal  dari  laskar  Hizbullah.  Simpati  dan kerja sama mereka dengan Darul Islam pun jadinya tampak karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan Batalyon 426  dalam  pertempuran  dengan  pasukan  RI  adalah  Kudus,  Klaten,  hingga  Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada tahap  awal,  pemberontakan  ini  lebih  disebabkan  akibat  ketidakpuasan  para  bekas  pejuang  gerilya  kemerdekaan  terhadap  kebijakan  pemerintah  dalam  membentuk  Tentara  Republik  dan  demobilisasi  yang  dilakukan  di  Sulawesi  Selatan.  Namun  beberapa  tahun  kemudian  pemberontakan  malah  beralih  dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.Tokoh  Kahar  Muzakkar  sendiri  pada  masa  perang  kemerdekaan  pernah  berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu  perang  kemerdekaan  dan  berkekuatan  16  batalyon  atau  satu  divisi.  Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan  reorganisasi  tentara  kembali.  Semua  itu  dalam  rangka  penataan  ketentaraan. Namun anggota KGSS menolaknya.Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur  menjadi  koordinator  KGSS,  agar  mudah  menyelesaikan  persoalan.  Namun  Kahar  Muzakkar  malah  menuntut  kepada  Panglimanya  agar  KGSS  bukan  dibubarkan,  melainkan  minta  agar  seluruh  anggota  KGSS  dijadikan  tentara  dengan  nama  Brigade  Hasanuddin.  Tuntutan  ini  langsung  ditolak  karena   pemerintah   berkebijakan   hanya   akan   menerima   anggota   KGSS   yang  memenuhi  syarat  sebagai  tentara  dan  lulus  seleksi.  Kahar  Muzakkar  tidak  menerima  kebijakan  ini  dan  memilih  berontak  diikuti  oleh  pasukan  pengikutnya.
Selama   masa   pemberontakan,   Kahar   Muzakkar   pada   tanggal   7   Agustus  1953  menyatakan  diri  sebagai  bagian  dari  Negara  Islam  Indonesia  Kartosuwiryo.  Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu  lama  untuk  menumpasnya.  Pemberontakan  baru  berakhir  pada  tahun  1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.Pemberontakan  yang  berkait  dengan  DI/TII  juga  terjadi  di  Kalimantan  Selatan.  Namun  dibandingkan  dengan  gerakan  DI/TII  yang  lain,  ini  adalah  pemberontakan yang relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang besar. Meski begitu, pemberontakan berlangsung  lama  dan  berlarut-larut  hingga  tahun  1963  saat  Ibnu  Hajar,  pemimpinnya, tertangkap.Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa  ditelusuri  hingga  tahun  1948  saat  Angkatan  Laut  Republik  Indonesia  (ALRI)  Divisi  IV,  sebagai  pasukan  utama  Indonesia  dalam  menghadapi  Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh  di  wilayah  tersebut.  Namun  ketika  penataan  ketentaraan  mulai  dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit anggota  ALRI  Divisi  IV  yang  merasa  kecewa  karena  diantara  mereka  ada  yang harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk memberontak.Diantara  para  pembelot  mantan  anggota  ALRI  Divisi  IV  adalah  Letnan  Dua   Ibnu   Hajar.    Dikenal sebagai figur    berwatak keras,    dengan cepat    ia  berhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa  terhadap  pemerintah.  Ibnu  Hajar  bahkan  menamai  pasukan  barunya  sebagai  Kesatuan  Rakyat  Indonesia  yang  Tertindas  (KRIyT).  Kerusuhan  segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun pecah.Akhir   tahun   1954,   Ibnu   Hajar   memilih   untuk   bergabung   dengan   pemerintahan  DI/TII  Kartosuwiryo,  yang  menawarkan  kepadanya  jabatan  dalam pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII   Kalimantan. Konflik dengan  tentara  Republik  pun  tetap  terus  berlangsung  bertahun-tahun.  Baru  pada tahun 1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer menjatuhinya hukuman mati.Daerah  pemberontakan  DI/TII  berikutnya  adalah  Aceh.  Ada  sebab  dan  akhir yang berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/TII lainnya.
Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950 pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera  Utara.  Para  ulama  Aceh  yang  tergabung  dalam  Persatuan  Ulama  Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik. Mereka menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh.Pemerintah pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953) menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami  kegagalan.  Akhirnya  pada  tahun  1953,  setelah  Daud  Beureuh  melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.Konflik antara    pengikut Daud    Beureuh dengan tentara RI  pun   berkecamuk dan  tak  menentu  selama  beberapa  tahun,  sebelum  akhirnya  pemerintah  mengakomodasi  dan  menjadikan  Aceh  sebagai  daerah  istimewa  pada  tahun  1959.  Tiga  tahun  setelah  itu  Daud  Beureuh  kembali  dari  pertempuran  yang  telah selesai. Ia mendapat pengampunan.

About the author

Live Admin
Seseorang yang suka dengan dunia blogging

Post a Comment